top of page

Vol. 15, No. 2, Oktober 2016 ​

Abstrak: Vol. 15, No. 2, Oktober 2016

Estetika Platon Dalam Konteks Revolusi Seni Rupa Yunani

(Anita Lawudjaja)

 

Abstrak: Mayoritas pembaca Platon menafsirkan filsafat Platon dalam perspektif dualisme, yaitu terdapat dunia idea (kosmos noetos) yang berlawanan dengan dunia indrawi (kosmos aisthetos). Cara tafsir ini menimbulkan banyak kontradiksi. Dalam estetika, E.H. Gombrich, sejarawan seni yang menelurkan teori Revolusi Seni Rupa Yunani, juga membaca Platon dalam tafsir dualisme. Gombrich menyimpulkan bahwa bagi Platon kontemplasi keindahan dapat membawa kita ke dunia idea yang transenden, sedangkan seni hanya menyenang-nyenangkan, mengelabui indra dan menggoda pikiran untuk terikat pada bayang-bayang. Padahal dalam teorinya sendiri, Gombrich menjelaskan bahwa karya seni rupa Yunani terkemuka persis karena keindahannya yang dihidupkan dengan daya ilusif-persuasif. Tulisan ini hendak melem-pangkan kontradiksi tersebut dengan mengoreksi dunia idea-dunia indrawi menjadi alam visibel-alam inteligibel (horatos topos-noetos topos), istilah yang dipakai Platon dalam corpus-nya. Dan tulisan ini menyim-pulkan bahwa Platon tidak menolak daya ilusif-persuasif yang terdapat dalam seni rupa melainkan menempatkannya sebagai instrumen untuk merealisasikan Agathon.

 

Kata-kata kunci: Daya ilusif-persuasif, keindahan, akal, intelek, seni.

 

Abstract: The majority of Plato’s reader interprets his philosophy in dualistic perspective, that there is the intelligible world (kosmos noetos) which opposed to the sensible world (kosmos aisthetos). This perspective caused many contradictions. In Aesthetics, E.H. Gombrich, an art historian who creates the Greek Revolution Theory, also read Plato under the perspective of dualism. For him, Plato thought that the contemplation of beauty can lead to the realm of transcendent ideas, while art can only flatter, deceive the senses and seduce the mind to feed on phantoms. Meanwhile, Gombrich also thought that Greek Art is beautiful precisely because of the power of illusion-persuasion. This article aims to reconcile the contradiction by replacing the intelligible world-sensible world to the intelligible realm-visible realm (topos noetos-horatos topos), the original term which Plato used in his corpus. And it concludes that Plato did not oppose the power of illusion-persuasion in art but placing them as an instrument to realize Agathon.

 

Keywords: Illusion-persuasion, beauty, mind, intellect, art.

 

E-mail: anita.lawudjaja@gmail.com.

Demokrasi Radikal Menurut Jacques Rancière

(Sri Indiyastutik)

 

Abstrak: Jacques Rancière, pemikir Prancis kelahiran Aljazair (1940-sekarang), konsisten dengan gagasannya tentang kesetaraan bagi setiap orang dan semua orang. Baginya, demokrasi bukanlah bentuk peme-rintahan atau tatanan sosial. Kesetaraan yang kontingen dalam tatanan sosial, menurut Rancière, menjadikan demokrasi dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, tidak dapat diprediksi. Rancière mengajak kita untuk terbuka pada gangguan-gangguan demos dan kemunculan subyek-subyek baru di masa datang sebagai dinamika dalam tatanan sosial yang tidak perlu ditumpas atau dihambat. Politik demokrasi adalah sebuah perselisihan. Namun perselisihan tersebut bukan tindakan revolusi untuk menghancurkan tatanan sosial yang telah ada menjadi tatanan yang sama sekali baru. Demokrasi adalah subyektivasi politik yang mengganggu tatanan sosial dominan yang dilakukan oleh demos untuk memverifikasi kesetaraan. Kemunculan demos mentransformasi tatanan sosial menjadi bentuk yang berbeda, yang mengakomodasi keberadaan mereka yang tidak terhitung (the wrong, yang salah).

 

Kata-kata kunci: Demokrasi, kesetaraan, demos, perselisihan, subyek-tivikasi, yang salah.

 

Abstract: Jacques Rancière, a French philosopher born in Algeria (1940-present), affirms the equality of anyone and everyone. He analyzes the so -called democracy not as a kind of state or social order. Equality which is contingent in the social order, for Rancière, shows that democracy could occurs everytime and everywhere, democracy could not be predicted. Rancière brings us to have an open eye in front of dispute of the demos and the subjectification of any new subjects. This is an inherent and a dynamic of the social order that should not be repressed or stopped. The democratic politics is a dispute. But the dispute is not an act of revolution to destroy the existing social order to create an entirely new order. Democracy is the political subjectification that disrupts the police order by the demos to verify the equality of anyone and everyone. The emergence of the demos transforms the social order into a different form when this order accommodates the existence of the wrong.

 

Keywords: Democracy, equality, demos, dispute, subjectification, the wrong.

 

E-mail: sri.indiyastutik@yappika-actionaid.or.id.

Hannah Arendt dan Etika Keduniawian

(Yosef Keladu Koten)

 

Abstrak: Etika keduniawian Hannah Arendt muncul dari cara khasnya memikirkan dunia dan tindakan-tindakan manusia di dalamnya. Bagi Arendt, lewat berpikir, manusia mengungkapkan opini dan perhatian-nya pada dunianya, apa yang terjadi di dunia. Lewat berpikir,  manusia me-nunjukkan sebentuk tanggung jawabnya terhadap dunia di mana ia terlempar. Dengan menilai sebuah tindakan politik, manusia disetir oleh nilai-nilai moral yang berasal dari dunia itu sendiri. Penilaian yang ia berikan, pada gilirannya ada di bawah putusan orang-orang lain yang mengkonfrontasinya. Artinya, saat kita berpikir dan menilai, kita mesti sadar akan makna tindakan politis bagi dunia pada umumnya, dan kita juga mesti menyadari apa yang akan dikatakan orang lain tentangnya.

 

Kata-kata Kunci: Etika, keduniawian, berpikir, menilai, tanggungjawab.

 

Abstract:  This paper aims at reconstructing Arendt’s ethics of worldliness from her specific way of thinking about the world and how to judge an action takes place in it. For Arendt, in thinking, we express our concern and opinion about the world and what is going on in it. It is one way of showing our our responsibility for the world into which we are thrown. In judging a political action we are directed by ethical constraints to come from the world itself and the verdict of spectators. That means, when we judge we should be aware of the things that an action could bring to the public realm and what others might say about it.

 

Keywords: Ethics, worldliness, thinking, judging, responsibility.

 

E-mail: yosaya_25@yahoo.com.

 

Teologi Ekologi dan Mistik-Kosmik St. Fransiskus Asisi

(Peter C. Aman)

 

Abstrak: Untuk mengembangkan suatu teologi ekologi, yang dikenal sebagai ekoteologi, mesti didasarkan pada fakta mengenai keterhubung-an semua ciptaan sebagai suatu ekosistem. Metodologinya adalah induk-tif dan interdisipliner. Kosmologi dan antropologi amat membantu mem-berikan data ilmiah. Data-data tersebut merupakan titik awal untuk me-lakukan teologi ekologi, selain sumber-sumber yang diperoleh dari Wahyu, seperti Kitab Suci, Tradisi dan Magisterium. Artikel ini merupakan suatu upaya mengembangkan teologi ekologi berdasarkan tradisi teologi Kristiani yang menggarisbawahi sejumlah titik pandang teologis, seperti penciptaan sebagai suatu proses melalui itu Allah menciptakan dunia; peran khas manusia sebagai partner Allah Pencipta, selaku gambar dan rupa Allah, merawat dan memelihara ciptaan atas nama Allah; antropo-sentrisme tidak memiliki akar dalam teologi ekologi Kristiani. Mistisisme kosmik St. Fransiskus sebagaimana diajukan Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ akan menjadi bagian kedua dari artikel ini, agar dapat memahami spiritualitas ekologis yang meresap dalam seluruh ensiklik. Bagi orang-orang Kristen memelihara ciptaan merupakan suatu kewajiban yang berakar dalam iman Kristiani.

 

Kata-kata kunci: Teologi ekologi, ekosistem, penciptaan sebagai proses, Teosentrisme, antroposentrisme, gambar dan rupa Allah, mistisisme, penyair ontologis.

 

Abstract: A theology on ecology, known as eco-theology,  should be based on the reality of the interconnection of all creations as an ecosystem. The methodology should be both inductive and inter-disciplinary. Cosmo-logy, biology and anthropology are helpful in contributing scientific data. The given data could be the starting points in doing a theology of ecology, besides the resources from Revelation, such as Scriptures, Tradition and Magisterium. This article is an effort to elaborate a theology of ecology based on Christian Tradition of Theology which underlines several theological points of view such as: creation as a process through which God creates the world; a special role as co-partner of the Creator for human being as “imago Dei” has to conserve and to take care of creation as God’s representative; anthropocentrism has no root on Christian theology of ecology. The Cosmic mysticism of St. Francis, promoted by Pope Francis in his encyclical letter Laudato Si’,  occupies the second part of this article in order to understand ecological spirituality which emerges throughout the encyclical letter. For Christians, taking care of creation is also an imperative rooted in their Christian faith.

 

Keywords: Theology of ecology, ecosystem, creation as a process, Theocentrism, anthropocentrism, imago Dei, cosmic mysticism, ontological poet.

 

E-mail: aman_peter@yahoo.com.

 

Tinjauan Buku (2 Buah)

1 / 1

Please reload

  • facebook-logo-fb-icon-27 1
  • logo twitter
  • logo google + 3
  • Mendeley 1
© Copyright Diskursus STF Driyarkara
bottom of page